Minggu, 07 April 2013

SIKLUS KEBIJAKAN


 

Proses  Pembuatan kebijakan sejak desain hingga implementasi dan evaluasinya, perlu dipandang sebagai suatu siklus dari serangkaian kegiatan kebijakan, yang secara umum ditunjukkan pada gambar di atas.
Penetapan agenda (Agenda Setting) biasanya dipicu oleh kesadaran tentang urgensi suatu isu public tertentu, yang berkembang dari beragam bentuk pemicu seperti misalnya :
a.    Persoalan yang semakin dirasakan dampaknya dalam masyarakat,
b.    Wacana yang berkembang dan mengkristal atas suatu isu tertentu,
c.    Hasil proses pembelajaran (misalnya analisis atas kondisi yang ada, studi banding atau suatu upaya benchmarking dengan Negara/pihak lain), dan sebagainya.
Karena itu, pemicu agenda kebijakan tidak selalu menjadi monopoli pembuat kebijakan. Serinngkali bahkan :
a.    Keprihatinan para pelaku bisnis atau opini lain dan
b.    Telaahan para analis kebijakan.
Merupakan pemicu penting untuk mengangkat suatu isu tertentu sebagai isu public dan menjadi agenda kebijakan serta mengingatkan para pembuat kebijakan untuk segera menyikapi dan menindaklanjutinya dengan segera dan tepat.
Analisis atau pengkajian kebijakan memegang peran sangat penting untuk mendalami agenda kebijakan, dengan memahaminya lebih jauh berdasarkan fakta dan kajian dalam konteks kekinian maupun perkiraan di masa datang.
a.    Mengidentifikasi isu kebijakannya secara spesifik,
b.    Menetapkan tujuan spesifik kebijakan yang diperlukan,
c.    Menggali berbagai alternative solusi beserta variable sasarannya, dan
d.    Merancang instrument kebijakan yang diperlukan.
Hasil analisis atau pengkajian kebijakan merupakan masukan bagi perancangan/desain atau formulasi kebijakan.
Proses :
1.    Penetapan instrument beserta aspek legal,
2.    Kerangka pengorganisasian (termasuk struktur kelembagaannya) dan
3.    Mekanisme operasionalnya.
Proses formulasi kebijakan juga meliputi berbagai persiapan bagi implementasi operasionalnya.
Pembuatan dan penetapan kebijakan pada dasarnya merupakan “ranah” kewenangan pembuat kebijakan (policy maker), walaupun pihak-pihak lain dapat berpartisipasi dalam penyiapannya.
Betapa pentingnya dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan (terutama untuk kebijakan-kebijakan yang  di luar undang-undang), untuk dapat menetapkan indikator keberhasilannya (indikator kinerja).
Karena itulah, system pengukuran (metric system) yang jelas akan sangat penting bagi suatu kebijakan. Atas dasar inilah semua pihak dapat memantau bagaimana capaian dari penetapann dan implementasi suatu kebijakan.
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan pada akhirnya ditentukan pada tataran implementasinya.
Sering dijumpai bahwa proses perencanaan kebijakan yang baik sekalipun tidak dapat menjamin keberhasilan dalam implementasinya.
Berbagai aktivitas termasuk penyiapan pelaksanaann,  sosialisasi, peningkatan kapasitas (capacity building) pihak tertentu (seperti misalnnya aparatur pemerintahan pelaksana tertentu), penafsirannya, dan sebagaimana merupakan hal penting yang biasanya “baku” dalam proses sebelum dan selama implementasi.
Namun yang tidak kalah pentingnya dalam implementasi kebijakan adalah kesungguhan dan konsistensi dalam implementasi kebijakan.
Proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi idealnya merupakan bagian integral dari proses kebijakan. Melalui aktivitas inilah, berdasarkan umpan balik (feedback), maka upaya upaya perbaikan kebijakan terus dilakukan sesegera mungkin dan apakah suatu kebijakan perlu  “diakhiri” atau tidak.
Sering dijumpai bahwa kebijakan tertentu, misalnya dalam bentuk skema program pemerintah, yang sebenarnya telah dikaji dan dirancang dengan cukup baik, dalam pelaksanaanya tidak berhasil karena ketidaksungguhan dan inkonsistensi pelaksanaan di lapangan.
Hal demikian (termassuk misalnya dalam bentuk moral hazard) dapat terjadi baik pada pihak pemerintah, pelaku bisnis, atau bahkan keduanya. Dalam konteks demikian, fungsi pengawasan/kontrol sangatlah penting. Ini tentu bukan semata fungsi eksternal (misalnnnya ada pihak independen yang melakukan hal ini), tetapi juga fungsi internal dalam konteks kebijakan yang bersangkutan.
                                 
 
Siklus kebijakan diawali dengan evaluasi kebijakan sebelumnya dan dilanjutkan dengan persiapan, pengembangan dan implementasi kebijakan (Ruwaard et.,al.,1994). Kerangka kerja kebijakan terpadu merupakan tahapan siklus dan konstribusi berbagai teknik analisis kebijakan (Dunn, 1981)


Siklus Manajemen
1.    Desain
2.    Planning
3.    Implementing
4.    Monitoring
5.    Evaluation
6.    Feedback

Design (Pilotong)    -     Planning    -    Implementing     -     Monitoring    -    Evaluation  -   Feedback

8 Aspek Sumber Manajerial
a.    Men (manusia)
b.    Machine (teknologi)
c.    Material materi atau bahan-bahan)
d.    Money (uang)
e.    Market (pasar)
f.     Methods (metode)
g.    Moment (waktu)
h.    Management system (system manajemen)

Kamis, 26 Juli 2012

HUTAN MANGROVE

Hutan Mangrove

Hutan Mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English). Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, atau juga hutan bakau. Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai tipe ekosistem hutan yang tumbuh di daerah batas pasang-surutnya air, tepatnya daerah pantai dan sekitar muara sungai. Tumbuhan tersebut tergenang di saat kondisi air pasang dan bebas dari genangan di saat kondisi air surut. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi mayoritas pesisir pantai di daerah tropis & sub tropis yang didominasi oleh tumbuhan mangrove pada daerah pasang surut pantai berlumpur khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik.
Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut dan tergolong dalam ekosistem peralihan atau dengan kata lain berada di tempat perpaduan antara habitat pantai dan habitat darat yang keduanya bersatu di tumbuhan tersebut. Hutan mangrove juga berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.
Umumnya mangrove mempunyai sistem perakaran yang menonjol yang disebut akar nafas (pneumatofor). Sistem perakaran ini merupakan suatu cara adaptasi terhadap keadaan tanah yang miskin oksigen atau bahkan anaerob. Pada hutan mangrove: tanah, air, flora dan fauna hidup saling memberi dan menerima serta menciptakan suatu siklus ekosistem tersendiri. Hutan mangrove memberikan masukan unsur hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan, tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga).
Hutan mangrove sangat berbeda dengan tumbuhan lain di hutan pedalaman tropis dan subtropis, ia dapat dikatakan merupakan suatu hutan di pinggir laut dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Akarnya, yang selalu tergenang oleh air, dapat bertoleransi terhadap kondisi alam yang ekstreem seperti tingginya salinitas dan garam. Hal ini membuatnya sangat unik dan menjadi suatu habitat atau ekosistem yang tidak ada duanya.
Kita sering menyebut hutan di pinggir pantai tersebut sebagai hutan bakau. Sebenarnya, hutan tersebut lebih tepat dinamakan hutan mangrove. Istilah ‘mangrove’ digunakan sebagai pengganti istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena bukan hanya pohon bakau yang tumbuh di sana. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya.
Hutan-hutan mangrove menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan mangrove di Indonesia antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Ciri-Ciri Hutan Mangrove
Hutan mangrove memiliki ciri-ciri fisik yang unik di banding tanaman lain. Hutan mangrove mempunyai tajuk yang rata dan rapat serta memiliki jenis pohon yang selalu berdaun. Keadaan lingkungan di mana hutan mangrove tumbuh, mempunyai faktor-faktor yang ekstrim seperti salinitas air tanah dan tanahnya tergenang air terus menerus. Meskipun mangrove toleran terhadap tanah bergaram (halophytes), namun mangrove lebih bersifat facultative daripada bersifat obligative karena dapat tumbuh dengan baik di air tawar.
Hal ini terlihat pada jenis Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorrhiza, dan Sonneratia caseolaris yang tumbuh, berbuah dan berkecambah di Kebun Raya Bogor dan hadirnya mangrove di sepanjang tepian sungai Kapuas, sampai ke pedalaman sejauh lebih 200 km, di Kalimantan Barat. Mangrove juga berbeda dari hutan darat, dalam hal ini jenis-jenis mangrove tertentu tumbuh menggerombol di tempat yang sangat luas. Disamping Rhizophora spp., jenis penyusun utama mangrove lainnya dapat tumbuh secara “coppice”. Asosiasi hutan mangrove selain terdiri dari sejumlah jenis yang toleran terhadap air asin dan lingkungan lumpur, bahkan juga dapat berasosiasi dengan hutan air payau di bagian hulunya yang hampir seluruhnya terdiri atas tegakan nipah Nypa fruticans.
Ciri-ciri ekosistem mangrove terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik, adalah :
  • memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;
  • memiliki akar tidak beraturan (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;
  • memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora;
  • memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.
Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus ekosistem mangrove, diantaranya adalah :
  • tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang pertama;
  • tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
  • daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
  • airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 – 22 o/oo) hingga asin.
Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat yang sangat penting bagi ekosistem hutan, air dan alam sekitarnya. Secara fisik hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : penahan abrasi pantai; penahan intrusi (peresapan) air laut; penahan angin; menurunkan kandungan gas karbon dioksida (CO2) di udara, dan bahan-bahan pencemar di perairan rawa pantai. Secara Biologi hutan mangrove berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat hidup (berlindung, mencari makan, pemijahan dan asuhan) biota laut seperti ikan dan udang); sumber bahan organik sebagai sumber pakan konsumen pertama (pakan cacing, kepiting dan golongan kerang/keong), yang selanjutnya menjadi sumber makanan bagi konsumen di atasnya dalam siklus rantai makanan dalam suatu ekosistem; tempat hidup berbagai satwa liar, seperti monyet, buaya muara, biawak dan burung.
Dilihat dari fungsi dan manfaat sosial dan ekonomi, hutan mangrove juga berfungsi dan bermanfaat sebagai : tempat kegiatan wisata alam (rekreasi, pendidikan dan penelitian); penghasil kayu untuk kayu bangunan, kayu bakar, arang dan bahan baku kertas, serta daun nipah untuk pembuatan atap rumah; penghasil tannin untuk pembuatan tinta, plastik, lem, pengawet net dan penyamakan kulit; penghasil bahan pangan (ikan/udang/kepiting, dan gula nira nipah), dan obat-obatan (daun Bruguiera sexangula untuk obat penghambat tumor, Ceriops tagal dan Xylocarpus mollucensis untuk obat sakit gigi, dan lain-lain); tempat sumber mata pencaharian masyarakat nelayan tangkap dan petambak., dan pengrajin atap dan gula nipah.
Sedangkan menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodrumus semipalmatus)
2. Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif
6. Transportasi
Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
7. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untukmemelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
8. Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang ada di dalamnya. Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
9. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
10. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
11. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
12. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga ketembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.
13. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam
Keberadaan hutan bakau dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya kondisi alam.
Sumber :